HAMBURG – Kota Hamburg, merupakan kota terbesar kedua di Jerman belahan utara. Kota berpenduduk sekitar 1,79 juta jiwa ini, telah menjadi tempat tinggal bagi sebagian perantau Minang di benua Eropa.
Generasi pertama perantau Minang di Hamburg, atau di kota-kota pelabuhan Eropa, pada umumnya berasal dari pelaut yang memilih menetap untuk menghabiskan masa tua mereka dengan tidak lagi pergi berlayar.
Salah satu keluarga perantau tersebut adalah Elsi dan Mardjuni Djaman, biasa dipanggil Uni Elsi dan Bang Chun. Mereka telah menjejakkan kakinya di Hamburg pada era 70an. Keduanya berasal dari nagari Kamang, Bukittinggi.
Untuk melepas rasa “taragak” pada kampung halaman, dengan didukung segenap perantau Minang di Hamburg dan sekitarnya, juga diaspora Minang Eropa, pada Sabtu 27 Agustus 2016 beberapa hari lalu, telah diselenggarakan “Baralek Gadang” dengan menyewa sebuah gedung yang berlokasi di daerah Bornheide, Hamburg.
Acara ini sebenarnya adalah pesta perayaan perkawinan perak keluarga Elsi dan Chun Djaman. Gayung bersambut kata berjawab, ide perayaan ini mendapat dukungan dari Sylvia Arifin, Konsulat Jenderal RI Hamburg dan sahabat perantau Minang di Eropa. Pesta perayaan tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi menjadi “Baralek Gadang”, lengkap dengan tari Galombang Pasambahan dan hantaran sirih dalam carano.
Hentakan Tari Galombang Pasambahan, sambah manyambah, serta alunan bansi yang mengiringi hantaran sirih dalam carano, membuat sekitar 250 tamu undangan tegak berdiri memadati lokasi prosesi. Mereka terpukau dengan gerakan silat yang ditarikan dan prosesi adat yang belum pernah disaksikan langsung selama ini.
Pada kesempatan tersebut, mewakili kedua mempelai serta koordinator acara, Budi Indra, menyampaikan dahaga terhadap attraksi budaya Minang di Eropa, khususnya di Hamburg sedikit terobati. Telah lama para sesepuh Minangkabau di Hamburg ingin menikmati pertunjukan budaya Minang, sekarang telah menjadi kenyataan, dengan cara yang sedikit berbeda. Dari perantau, oleh perantau, untuk sahabat-sahabat perantau Minang di Hamburg.
Para penari yang tampil adalah perantau-perantau yang tidak lagi muda yang datang dari seluruh penjuru Eropa serta generasi kedua yang juga turut berpartisipasi.
Sebut saja, Yef Darwis, perantau Minang asal Rotterdam, Belanda. Ia seorang Hardware Engineer yang bekerja di bidang IT. Meski umur sudah jauh di atas 45 tetapi masih sanggup bergerak lincak menari galombang.
Rafles Kam, alumni ITB 1976, saat ini berkecimpung di industri dirgantaranya Jerman, juga tidak ketinggalan dengan pantun sambah manyambah.
Wulan Panyalai, sosok pekerja keras tak kenal lelah, datang jauh dari Paris untuk memasang pelaminan, dekorasi, tata rias, serta menari piring. Fifi Bagindo, menyediakan diri untuk datang dari Belanda, beberapa hari sebelum acara, melatih anak-anak para pelaut perantau Minang ini untuk bisa menari Pasambahan.
Pada acara tersebut juga diputarkan DVD promosi pariwisata Kota Padang, yang diperoleh dari Mimi Schlüter untuk membangkitkan minat para tamu undangan, untuk bertanya lebih jauh tentang Padang khususnya atau Sumatera Barat pada umumnya.
Pada akhirnya, dengan semangat dan jiwa gotong royong sebagai sesama perantau, acara Baralek Gadang ini berhasil terlaksana dengan lancar. Sekali merangkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Pesta perayaan perkawinan perak keluarga Elsi dan Chun Djaman telah berhasil menghibur perantau Minang di Hamburg dan sekitarnya, pemersatu Diaspora Minangkabau di Eropa, serta promosi budaya Minangkabau di Jerman. (budi indra)
0 komentar:
Posting Komentar